Senin, 10 Desember 2012

Ie Seu'um

BA-C,Berkunjung ke Ke "ie seu'um" daerah ujoeng bate tepatnya kampung lhoeng Raya sebelum bukit suharto,
Tempat ini terkenal sebagai tempat pemandian air panas,tempat ini ramai di kunjungi warga banda aceh dan sekitar pada hari minggu dan hari libur lainnya,

Minggu, 02 Desember 2012

VISI & MISI TERBENTUKNYA BA_C

Artikel: VJ Smart

Tentang
VISI
1. Membentuk pola pikir generasi muda
agar terhindar dari pengaruh negatif
globalisasi
2. Menjadikan wadah untuk
menjalin persatuan dan kesatuan ke semua
golongan masyarakat

Misi
1. Menciptakan suasana nyaman
berlalulintas
2. Menjalin hubungan kerjasama yang baik
dengan semua lapisan masyarakat dan
pemerintah.
3. Meningkatkan SDM khususnya anggota
B.A.C umumnya kepada masyarakat luas.
4. B.A.C Tidak Memandang Motor Jenis Apapun.
Bagi B.A.C Hanya Mengandalkan
Sodaliritas,Silaturrahmi,Sosialisasi,Saling
Meghargai,& Terutama Sekali Keakraban
Sesama Komunitas/Biker's

Keterangan
B.A.C adalah sebuah klub motor yang
merupakan komunitas dari pengguna
berbagai jenis sepeda motor di banda aceh.
Disini Anda dapat bertemu sesama
pengguna motor dari brbagai jenis sepeda
motor untuk bisa sharing tentang Aksesoris,
modifikasi , bengkel, perawatan serta
semua hal yang berhubungan dengan
sepeda motor.

Pantai lhoknga

Artikel: VJ Smart

Menyambut Bulan Suci Ramadhan Biker's Aceh Community Mengadakan Touring Ke Lhong,
Lhong adalah salah satu tempat wisata Di Banda Aceh, Yang Terletak di Kec. Aceh Besar desa lhong,

Jumat, 30 November 2012

Buka Puasa Bareng

Acara BUBAR ne di hadiri sebagian dari anggota/crew, di karna kan sebagian anggota yang lain tidak bisa meninggalkan aktifitasnya,
Tapi walau begitu "BAC" selalu tetap semagat...""???

Imbauan KPA Soal Peringatan Milad 4 Desember

***
KPA PUSAT
BANDA ACEH – Komite Peralihan Aceh
menerbitkan imbauan menjelang 4
Desember 2012 yang akan berlangsung
beberapa hari lagi.
“KPA mengimbau seluruh masyarakat
dan anggota KPA agar melaksanakan
peringatan 4 Desember 2012 dengan
berdoa bersama,” kata Mukhlis Abee,
Juru Bicara KPA Pusat di Banda Aceh,
30 November 2012.
“Tempatnya di masjid dan meunasah
masing-masing wilayah saja.”
Menurut Abee, KPA Pusat memang
mengagendakan peringatan 4 Desember
di Makam Wali Nanggroe Hasan Tiro,
Meureu, Indrapuri, Aceh Besar. “Bagi
anggota KPA dan masyarakat Aceh
Besar dan kota Banda Aceh baiknya ikut
memperingati besama di Meureu,” kata Abee.
Sedangkan bagi anggota KPA dan
masyarakat yang jauh dari Aceh Besar
dan Banda Aceh boleh memperingatinya
di wilayah masing-masing saja. “KPA
juga mempersilahkan jika berkeinginan
untuk ikut memperingatinya di Meureu,”
kata Abee.
“Yang paling penting dari peringatan ini
sebenarnya adalah kita tetap
melaksanakannya secara benar
walaupun itu terlaksana di masing-
masing tempat,” kata Abee.
Selain itu, Abee mengharapkan
pelaksanaan peringatan 4 Desember
2012 tidak berlebihan. “Sebab berdoa
bersama ini akan lebih memiliki nilai
tinggi dan bermakna jika dilaksanakan
dengan ikhlas.
Apalagi, jika ada kemudahan rezeki
dimanfaatkan untuk membantu anak-
anak yatim dan fakir miskin,” katanya.
Bahkan, kata Abee, di Meureu pun
pelaksanaan peringatakan 4 Desember
2012 dilaksanakan dengan berdoa
bersama. “Ini nilainya sangat tinggi dan
mulia.”
Menurut Abee, dalam melaksanakan
peringatan 4 Desember ini, KPA Pusat
tetap menghormati hukum dan peraturan
yang berlaku. Selain itu, KPA juga
bekerjasama dengan aparat penegak
hukum dalam hal ini adalah kepolisian.
“Kita perlu juga mengantisipasi secara
bersama-sama segala kemungkinan.
Jangan sampai ada agenda susupan
dari pihak lain yang tidak
bertanggungjawab.”
Karena itu, KPA mengimbau agar jangan
terprovokasi dengan berbagai upaya-
upaya negatif dari pihak-pihak yang tak
bertanggungjawab.

Kamis, 29 November 2012

DUA ORANG SAHABAT

Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki
bertemu di jempatan beton dekat
simpang tiga depan kantor pos. Yang
satu kekar dan yang lain kurus. Keduanya
sama mendekatkan arloji ke mata, seolah
hendak tahu apa mereka tiba tepat waktu.
Ketika itu malam belum lama tiba. Hujan
yang turun sedari sore, tinggal renyai.
Malam menjadi kian gelap dan lebih
dingin hawanya. Salah seorang
mengenakan mantel hujan. Yang lain
bermantel plastik transparan. Kerah
mantel- nya sama ditinggikan sampai
menutup telinga. Kepala si ke- kar
ditutupi oleh baret abu-abu. Si kurus oleh
topi mantel. Sedangkan tangannya sama
membenam jauh ke dalam saku celana.
Mereka berjalan ke arah timur dengan
setengah membungkuk, mengelakkan
dingin dan tiupan angin malam. Tak
seorangpun yang berbicara.
Nyala lampu jalan yang bergoyang-
goyang ditiup angin itu, redup cahayanya.
Dibendung oleh kabut yang biasa turun di
kota pegunungan itu. Jalan itu lengang
seperti kota ditinggalkan penduduk
karena ada ancaman bencana. Hanya
bayangan kedua orang yang terangguk-
angguk itu saja yang kelihatan. Ketika
mereka sampai di suatu simpang, si
kekar bertanya tanpa menoleh: "Kemana
kita?"
"Terserah kau." jawab si kurus gersang.
Lalu yang kekar membelok ke kiri. Seperti
itik jalan sekandang, si kurus juga
membelok. Sekarang jalan yang mereka
tempuh mendaki. Tapi mereka tidak
melambatkan langkah. Sehingga mereka
seperti tambah terbungkuk-bungkuk dan
kepalanya sama terangguk pada setiap
kaki dilangkahkan. Jalan itu lebih gelap
oleh kerimbunan pohon-pohon di kiri-
kanannya. Dan kaki mereka sering
terperosok ke lobang di jalan aspal yang
telah lama tidak diperbaiki. Keduanya
dengan pikiran masing-masing. Hanya
derapan sepatu yang solnya sudah
lembab yang meningkahi nyanyian hewan
malam.
"Gila. Dia berani. Sekali aku pukul, pasti
klenger." kata si kekar dalam hatinya.
"Orang bertubuh besar, kekar, bangga
dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan
kalau kaya, sombong. Tidak punya
perasaan." kata si kurus dalam hatinya
juga.
"Mengapa dia berani? Apa dia punya
ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang
Indonesia punya ilmu, tidak akan bisa
Belanda lama-lama menjajah negeri ini.
Tapi dia ini punya ilmu apa?" kata si
kekar lagi pada dirinya.
"Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu
benar. Tapi tidak selamanya." kata si
kurus. "Karena orang kecil punya otak.
Harus cerdik. Sejarah mengatakannya
begitu." kata si kurus masih dalam hati.
"Aku pecah kepalanya sampai otaknya
berderai. Biar bangkainya tahu, jangan
coba-coba melawan aku." kata si kekar
pula.
Kini mereka melalui jalan yang mendatar
sesudah membelok ke kanan lagi.
Langkah mereka seperti tertegun ketika
mulai melalui jalan yang datar itu.
Napasnya sama menghem- bus panjang,
bagai mau melepaskan hengahan payah.
Lalu mereka melintasi jalan lebar yang
bersimpang. Tiba-tiba sebuah jip militer
datang dari arah kanan. Si kekar buru-
buru menepi. Tapi si kurus tidak peduli.
Dia tidak meng- hindar. "Kamu mau mati,
hah?" bentak pengendera jip itu dengan
iringan sumpah serapah.
Si kurus berdiri sambil menatap ke arah
jip yang lewat tidak lebih setengah meter
darinya. Katanya dalam hati: "Sama saja
watak kalian. Tidak beretika. Tidak
bermoral."
Rumah-rumah di kedua pinggir jalan itu
sudah jarang le- taknya. Listrik belum
sampai ke sana. Hanya cahaya lampu
minyak mengintip dari celah dinding
anyaman bambu. Rumah- rumah itu
sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam
alam hingga ke puncak bukit. Sedangkan
bukit itu terpampang bagai mau merahapi
alam kecil di bawahnya. Tepat diatas
perbatasan alam yang pekat itu, sesekali
cahaya terang mengilat. Bukit itu bagai
binatang merayap maha besar dalam
kisah prasejarah. Mengerikan
nampaknya.
Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan
terbuka.
Cahaya lampu minyak melompat keluar.
Masuk ke gelap malam. Kepala seorang
perempuan menjulur. Dia memandang
lama ke- pada kedua laki-laki itu. Laki-
laki itu juga memandangnya.
Ketika lelaki itu berjalan terus, kepala
perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu
sambil menggerutu. "Sialan.
Bukan mereka."
Dan perempuan lain di dalam rumah
cekikikan ketawa. Lalu hilang karena
pintu ditutup lagi. Cahaya lampu yang
menjilat malam itu pun lenyap
bersamanya. Renyai tidak turun lagi.
"Kurang ajar. Berani bilang aku sialan.
Kalau aku mau perempuan bukan ke seni
aku, tahu?" kata si kekar masih dalam
hatinya.
"Perempuan pemilik daging sewaan ini,
sama saja dengan pemilik otot. Sama
tidak punya etika, tidak punya moral."
gerutu si kurus.
Kemudian mereka tiba lagi di sebuah
simpang. Jalan be- sar yang mereka
tempuh membelok ke kiri. Tapi mereka
me- neruskan arahnya, melalui jalan kecil
tanpa aspal. Kerikil besar-kecil
berserakan menutupnya. Gemercakan
bunyinya di- pijaki. Dekat di kiri kanan
jalan meliuk-liuk daun pisang ditiup
angin. Berkepakan bunyinya menyela
desauan angin yang meniup dan
nyanyian jengkrik. Bukit menghempang di
hadapan mereka hilang timbul disela
daun pisang itu. La- ngit yang
memberikan kilatan, juga mengintip
dicelahnya. "Tak kusangka aku ke sini di
malam seperti ini." si kekar berkata
dalam hatinya lagi. "Mengapa aku mesti
ke sini? Seumur-umurku belum pernah
aku ke sini. Jangkankan malam. Siang
pun belum. Gila benar."
"Orang kuat, orang kaya, itu maunya
takdir. Jika enggan menghormati kaum
jelata, hormatilah takdir. Kalau mereka
tidak mau, lawan takdir itu. Takut
melawan, terinjak terus. Kalau melawan,
gunakan otak. Akali. Kalah menang juga
takdir." kata si kurus masih dalam
hatinya.
Tiba-tiba keduanya sama terkejut.
Langkah mereka sama terhenti, sambil
dengan hati-hati mengawasi sesuatu
yang melintas cepat di depan mereka.
Rupanya seekor musang.
Berdesauan suara perlandaan badannya
dengan dedaunan di semak itu.
"Huss, musang. Bikin kaget orang.
Nantilah, aku bawa bedil ke sini. Boleh
kamu tahu rasa." kata si kekar.
"Bagi kamu musang, selalu ada
sekandang ayam untuk kamu terkam.
Apalah daya ayam karena sudah
takdirnya begitu. Kata Hobbes hanya
cocok untuk binatang. Manusia yang
bina- tang, ya, sama. Tapi aku manusia.
Manusia yang manusia. Kalau kuat, ya,
jangan menindas. Kalau tidak mau
melawan, jadi ayamlah kamu." kata si
kurus lagi.
Keduanya terus melangkah juga. Tapi
lebih lambat. Si kekar seperti mencari-
cari sesuatu. "Orang kurus seperti kamu,
sekali tetak, lehermu patah. Berhari-hari
kemudian orang akan mencari bau
bangkai membusuk ke sini. Bangkai itu,
bangkai kamu. Karena itu jangan sekali-
kali menentang
orang kuat." kata si kekar lagi. Masih
dalam hati. Dia lebih memperlambat
langkahnya seperti dia merasa sudah
sampai ke tempat yang ditujunya. Dan
memang tak lama kemudian mereka
sampai ke suatu padang luas yang
membujur di sepanjang kaki bukit di
kejauhan itu. Tiada pohon tumbuh disitu.
Selain belukar menyemak. Dulunya
padang itu tempat serdadu Belanda, sorja
Jepang dan tentara revolusi latihan
menembak. Di sana Jepang juga
memenggal nyawa orang yang dituduh
pengkhianat. Tentera revolusi pun meniru
gurunya yang sorja Jepang. Sehingga
padang itu menumbuhkan fantasi yang
menegakkan bulu roma setiap orang.
Orang-orang tawanan yang akan dibawa
ke situ, sudah ke- jang duluan oleh
ketakutan atau cepat-cepat berdoa
dengan seribu cara. Dan kini padang luas
yang sunyi dan menimbulkan fantasi
seram itu, di malam berenyai, dingin dan
pekam, didatangi oleh dua lelaki. Dan
padang itu, seperti biasa menanti dan
menyaksikan orang-orang yang dipenggal
lehernya atau ditembak mati tanpa peduli
perasaan si kor- ban. Padang itupun
sunyi menerima kedatangan kedua laki-
laki itu. Bersikap masa bodoh terhadap
segala apa yang di- lakukan oleh
manusia terhadap sesamanya. Seolah-
olah berkata: "Hai manusia, silakan
kalian saling bunuh." Tapi arwah
manusia yang dibunuh tanpa kerelaan,
sehingga menumbuhkan fantasi yang
menghantu, seperti tidak menyentuh hati
kedua lelaki yang mendatanginya di
malam itu.
"Dia mau menjagal aku, seperti yang
dilakukan serdadu-serdadu itu." kata si
kurus dalam hatinya.
"Kalau dia sampai mati aku gampar,
orang akan menanyai aku. Polisi akan
menangkap aku. Matilah aku. Sialnya ini
orang mau ke sini." kata si kekar
menggerutu pada dirinya. "Kalau aku
dipenjarakan, akan apa perasaan isteriku.
Kalau aku dikuhum mati? Bajingan-
bajingan akan memburu istriku yang
muda, cantik dan kaya oleh warisanku.
Sialan".
Cahaya kilat memancar juga jauh tinggi
dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap
dan kesepian padang itu. Dan sese- kali
angin meniup agak keras, hingga daunan
kayu bergoyangan menjatuhkan pautan
tetesan air padanya. Gegap berde- sauan
bunyinya, bagai teriakan prajurit yang
kemasukan semangat mau mati yang
bernyala dan haus darah.
Si kekar mendongakkan kepalanya seraya
memandang sekeliling alam di padang
itu. Lalu katanya seraya menghenti- kan
langkahnya, "Di sini saja."
Si kurus pun menghentikan langkahnya.
Masih menekur juga dia. Keduanya kini
tegak berhadapan, seperti dua orang
yang mau mengatakan sesuatu yang
lama sudah disimpan.
"Mestinya dia ini tidak perlu aku bawa ke
sini. Aku cari saja preman. Suruh ajar dia
ini. Habis perkara." kata si kekar.
"Sialnya aku lancang mulut mengajaknya
berduel malam ini."
Cahaya kilat memancar lagi. Jauh di balik
bukit sebe- rang ngarai yang lebar itu.
Redup, seperti tak bertenaga. Lalu kata si
kekar dengan suara redup seperti kilat itu:
"Tak pernah selama ini aku
mengangankan datang kemari ber-
samamu. Apalagi malam begini.
Nyatanya kita kemari juga.
Kau tahu mengapa?"
Si kurus mengangkat kepalanya, seraya
memandang ke arah kepala si kekar. Lalu
katanya dengan suara yang gersang.
"Maumu 'kan?" Tapi dalam hatinya dia
berkata: "Kau tahu kau kekar dan kuat.
Kau jadi berani membawa aku ke sini.
Tapi aku punya harga diri. Sekali aku
kecut, seumur hidup aku kau dilecehkan."
Keduanya terdiam ketika angin bertiup
rada kencang. Bersoraklah lagi dedaunan
menggugurkan tetesan sisa air yang
bergantungan padanya.
"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa
lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh
tahun." si kekar memulai bicara sebagai
awal pembicaraan yang panjang dengan
mengingatkan segala apa yang telah
diberikannya kepada si kurus selama
mereka bersahabat kental. Nadanya
membanggakan kelebihan- nya dan
melecehkan si kurus dengan kalimat
sindiran.
"Sekali hari kau kenalkan Nita padaku.
Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku
lamar dia pada orang tuanya. Lalu kami
kawin. Sejak itu kau berobah. Mana aku
tahu Nita pacarmu." kata si kekar.
"Kalau kapal suka berobah arah ke mana
angin kencang bertiup, lebih baik tidak
menompangnya. Tapi ini bukan soal Nita.
Ini soal harga diri yang selalu kau
lecehkan" kata si kurus. Masih dalam
hatinya.
"Kau kira aku cemburu kalau Nita
kemudian dekat padamu? Tidak. Aku
tidak cemburu. Karena aku tahu siapa
aku, siapa Nita, siapa kau." kata si kekar.
Kemudian dengan nada yang tegar dia
melanjutkan:
"Kalau kau mau ambil dia, ambil.
Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka
dilecehkan." Dia mencoba meneliti wajah
si kurus. Namun gelap malam
menghalangi penglihatannya. Cahaya
kilat tak membantu ka- rena terlalu jauh
di langit sebelah barat. Angin masih se-
bentar-sebentar menggoyangi dedaunan
di ujung ranting.
"Kau tidak peduli kapalmu rindu pada
teluk yang dalam, ombak yang tenang.
Itulah macam manusianya kamu. Seperti
raja-raja dahulu kala. Semua yang berada
di bawah kuasamu, kamu pikir dapat
diperjual-belikan. Siapa mau dan tahan
diperlakukan begitu terus-menerus?" kata
si kurus dalam hatinya juga.
"Sekarang, kita berada disini, di padang
yang luas ini, di malam sehabis hujan
turun, dimana kilat masih sabung-
bersabungan. Namun dalam hati kecilku
aku menyesali kehadiran kita disini. Aku
merasa konyol. Tapi.....kalau tidak dengan
cara begini menyelesaikan persoalan kita,
hi- langlah harga diriku." kata si kekar
dengan gaya orang partai yang mencoba
menumbuhkan kesan kagum yang
diharap- kannya. Tapi si kurus masih
tidak menanggapi. Dia masih bersikap
seperti tadi, berdiri tanpa peduli.
"Betul-betul sudah pekat hatimu
menantang aku secara jantan?" kata si
kekar.
Si kurus tak menyahut. Tapi kepalanya
tak menekur lagi. Tegaknya seperti
menantang.
"Sekali lagi aku tanya, Apa hatimu sudah
pekat?"
"Kau kira apa?" kata si kurus seraya
menyurutkan sebelah kakinya selangkah.
Si kekar membuka mantel hujannya
tenang-tenang. Disam- kutkannya pada
ranting belukar beberapa langkah dari
tem- patnya. Sambil melangkah
digulungnya lengan panjang keme- janya.
Selesai yang kiri, lalu yang kanan. Juga
dengan tenang. Tapi ketika dilihatnya si
kurus masih terpaku pada tempatnya
berdiri, dia berkata lagi, "Mengapa tak
kau buka mantelmu? Kau menyesal?"
"Apa pedulimu?"
"Baik." kata si kekar sambil
menyelesaikan menggulung lengan
kemejanya. Kemudian dia kepalkan
tinjunya sambil menyurutkan langkah
selangkah. Siap untuk berkelahi. Tiba-
tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di
tangan si kurus. "Apa itu?" tanyanya.
"Pisau," jawab si kurus tegas.
"Oh. Kau berpisau? Itu curang namanya."
kata si kekar seraya menyurutkan
kakinya selangkah lagi.
Tak ada jawab si kurus.
"Kalau kau main curang, buat apa
kejantanan? Aku tidak mau berduel
dengan orang curang." kata si kekar.
"Kencing kau." carut si kurus untuk
menghina.
Si kekar kehilangan nyali. "Kalau aku tahu
kau bawa pisau ......."
Dan angin bertiup lagi. Dedaunan
berdesauan pula. Kini seperti bersorak
girang atas kemenangan orang kecil atas
keangkuhan orang besar.
Lama kemudian si kekar berkata lagi, tapi
dengan suara yang kendor. "Aku orang
terdidik. Terpandang pada mata ma-
syarakat. Aku tidak mau mati terbunuh
oleh sahabat karib- ku sendiri. Tak aku
sangka, kau mau membunuhku."
"Mestinya aku ludahi wajahmu. Tapi apa
gunanya menghina orang yang kalah?"
kata si kurus dalam hati. Seketika ada
pikiran yang mengganggunya, bagaimana
kalau si kekar jadi pemenang. "Pasti
seperti pemenang pada perang saudara."
"Maksudku, hanya ingin menyelesaikan
persoalan antara kita. Bukan untuk
berbunuh-bunuhan. Karena kita berhabat
karib." kata si kekar dengan suara lirih.
Si kurus membalikkan badannya. Lalu
melangkah ke arah mereka datang tadi.
Tidak tergesa-gesa. Juga tidak pelan.
"Tunggu. Tunggu aku." seru si kekar.
Karena si kurus terus menjauh, dia
mengikuti dengan langkah panjang-
panjang. "Jangan kau salah mengerti.
Sebenarnya aku tidak hendak berkelahi.
Apalagi dengan kau." katanya setelah
dekat.
Si kurus tidak menjawab. Dia terus
berjalan tanpa mem- lambatkan langkah.
Si kekar terus juga bicara tentang pe-
nyesalannya mengajak si kurus ke tempat
yang sepi itu. Kemudian katanya: "Aku
minta maaf sebesar-besar maafmu.
Kau mau, bukan?" Karena si kurus terus
tidak berkata, di pegangnya tangan si
kurus. Tapi si kurus merenggutkan
tangannnya dari pegangan itu.
Terperengah berdiri si kekar beberapa
saat.
Angin malam terasa bertiup lagi.
Dedaunan pohon ping- gir jalan itu
mendesau seketika. Si kekar melangkah
cepat, lebih cepat dari langkah si kurus.
Setelah beberapa langkah mendahului,
dia berdiri dan menanti si kurus
mendekat.
Didekapnya kedua telapak tangannya di
bawah dagunya se- perti patung Budha.
Lalu katanya memelas: "Aku minta sung-
guh, jangan kau ceritakan peristiwa ini
kepada siapapun. Hancur harga diriku.
Akan apa kata Nita, kalau dia tahu?
Hancur aku. Hancur."
Si kurus terus melangkah. Si kekar terus
menghadang dengan langkah mundur.
Tanpa merobah letak kedua tangan, si
kekar berkata lagi: "Apapun yang kau
minta akan aku beri, asal kau tidak
ceritakan kepada siapapun. Habis aku.
Hancur harga diriku. Katakan apa yang
kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah.
Aku ikhlas."
Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat
mantelnya tergantung pada ranting
belukar. Tergesa-gesa dia kembali untuk
mengambilnya. Tergesa-gesa pula dia
mengenakan mantel serta
mengancingkannya. Sedangkan matanya
terus juga memandang si kurus yang kian
menjauh dan kian hilang dalam gelap
ma- lam. Dia berlari mengejar sambil
memangil-manggil nama si kurus dan
minta si kurus menunggu. Ketika sampai
di tempat mereka berpisah tadi, si kekar
berhenti. Dia memandang berkeliling
mencari dimana si kurus berada. Tidak
siapapun terlihat, selain gelap malam.
Bulu romanya merinding. Sambil berlari
kencang, dia memanggil nama si kurus
keras-keras. "Dali, tunggu. Dali, tunggu.
Jangan tinggalkan aku. Daliiii."
Si kurus keluar dari persembunyiannya di
belukar, setelah suara si kekar tidak
terdengar lagi. Dia bersembunyi karena
enggan berjalan seiring dengan sahabat
lama yang sudah jadi bekas sahabat.
Kayutanam, 30 Agustus 1999.

Kisah Sedih Seorang Ibu

Assalamualaikum,Ini  merupakan satu cerita yang agak
sedih..ya..kasih ibu amat besar..lebih
besar daripada segalanya, lebih berharga
daripada nilai gaji yang kita
perolehi..tetapi mengapa kita perlu jadi
sedemikian rupa…bacalah dengan teliti
cerita ini…hergailah mereka selagi kita
masih punyai…kini c.z hanya mempunyai
ibu sahaja…dan cz memang SAYANGKAN
DIA…..
Pada suatu hari, seorang pemuda yang
bernama Faizal terlibat dalam
kemalangan. Dia dilanggar oleh sebuah
teksi di sebatang jalan raya.
Akibat daripada kemalangan itu dia
cedera parah. Kepalanya luka, tangannya
patah dan perutnya terburai. Setelah
dibawa ke hospital, doktor mendapati
keadaannya terlalu teruk dan
menjangkakan dia tidak ada harapan lagi
untuk hidup. Ibunya, Jamilah segera
dihubungi dan diberitahu tentang
kemalangan yang menimpa anaknya.
Hampir pengsan Jamilah mendengar
berita tentang anaknya itu. Dia segera
bergegas ke hospital tempat anaknya
dimasukkan.Berlinang air mata ibu
melihat keadaan anaknya. Walaupun telah
diberitahu bahawa anaknya sudah tiada
harapan lagi untuk diselamatkan, Jamilah
tetap tidak henti-henti berdoa dan
bermohon kepada Allah agar anaknya itu
selamat.
Hari berganti minggu, minggu berganti
bulan, keadaan Faizal tidak banyak
berubah. Saban hari Jamilah akan datang
menjenguk anaknya itu tanpa jemu.
Saban malam pula Jamilah bangun untuk
menunaikan solat malam bertahajjud
kepada Allah memohon keselamatan
anaknya. Dalam keheningan malam,
sambil berlinangan air mata, Jamilah
merintih meminta agar anaknya
disembuhkan oleh Allah.
Ini adalah antara doa Jamilah untuk
anaknya itu ;
”Ya Allah ya Tuhanku, kasihanilah aku
dan kasihanilah anak aku. Susah payah
aku membesarkannya, dengan susu aku
yang Engkau kurniakan kepadaku, aku
suapkan ke dalam mulutnya. Ya Allah,
aku pasrah dengan apa jua keputusan-
Mu! Aku redho dengan qada’ dan qadar
Mu yaa Allah.”
”Yaa Allah, dengan air mataku ini, aku
bermohon kepadaMu, Engkau
sembuhkanlah anakku dan janganlah
Engkau cabut nyawanya. Aku sangat
sayang kepadanya. Aku sangat rindu
kepadanya. Susah rasanya bagiku untuk
hidup tanpa anakku ini. Terngiang-ngiang
suaranya kedengaran di telingaku
memanggil-manggil aku ibunya.”
“Ya Allah, tidak ada Tuhan melainkan
hanya Engkau saja. Tunjukkanlah kuasa
Mu ya Allah. Aku reda kalau anggota
badanku dapat didermakan kepadanya
agar dengannya dia dapat hidup
sempurna kembali.”
“Ya Allah, aku redho nyawaku Engkau
ambil sebagai ganti asalkan Engkau
hidupkan anak kesayanganku. Engkaulah
yang Maha segala hal, berkat kebesaran
Mu ya Allah, terimalah doaku
ini….aamiin”.
Keyakinan Jamilah terhadap kuasa Ilahi
sangat kuat walaupun tubuh badan
anaknya hancur cedera dan dikatakan
sudah tiada ada harapan lagi untuk
hidup. Namun, Allah benar-benar mahu
menunjukkan kebesaran dan
kekuasaanNya.
Setelah 5 bulan terlantar, akhirnya Faizal
menampakkan tanda-tanda kesembuhan
dan akhirnya dia sembuh sepenuhnya.
Berkat doa seorang ibu yang ikhlas.
Faizal dapat meneruskan hidupnya
hingga berumahtangga dan beranak-
pinak. Ibunya, Jamilah semakin hari
semakin tua dan uzur.
Suatu hari, Jamilah yang berusia hampir
75 tahun jatuh sakit dan dimasukkan ke
hospital. Pada mulanya, Faizal masih
melawat dan menjaga ibunya di hospital.
Tetapi semakin hari semakin jarang dia
datang menjenguk ibunya hinggalah pada
suatu hari pihak hospital
menghubunginya untuk memberitahu
keadaan ibunya yang semakin teruk.
Faizal segera bergegas ke hospital. Di
situ, Faizal dapati keadaan ibunya
semakin lemah. Nafas ibunya turun naik.
Doktor memberitahu bahawa ibunya
sudah tidak ada masa yang lama untuk
hidup. Ibunya akan menghembuskan
nafasnya yang terakhir pada bila-bila
masa saja.
Melihat keadaan ibunya yang sedemikian
dan kononnya beranggapan ibunya
sedang terseksa, lantas Faizal terus
menadah tangan dan berdoa seperti ini;
“ Yaa Allah, seandainya mati lebih baik
untuk ibu, maka Engkau matikanlah
ibuku! Aku tidak sanggup melihat
penderitaannya. Yaa Allah, aku akan
redho dengan pemergiannya…Aamin.”
Begitulah bezanya doa ibu terhadap anak
dan doa anak terhadap orang tuanya.
Apabila anak sakit, walau seteruk mana
sekalipun, walau badan hancur sekalipun,
walau anak tinggal nyawa-nyawa ikan
sekalipun, namun ibu bapa akan tetap
mendoakan semoga anaknya
diselamatkan dan dipanjangkan umur.
Tetapi anak-anak yang dikatakan ‘baik’
pada hari ini akan mendoakan agar ibu
atau bapanya yang sakit agar segera
diambil oleh ALLAH, padahal ibu bapa itu
baru saja sakit. Mereka meminta pada
Allah agar segera mematikan ibu atau
bapanya kerana kononnya sudah tidak
tahan melihat ‘penderitaan’ ibu bapanya.
Anda bagaimana? Apa doa anda untuk
ibu bapa anda?