Kamis, 29 November 2012

DUA ORANG SAHABAT

Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki
bertemu di jempatan beton dekat
simpang tiga depan kantor pos. Yang
satu kekar dan yang lain kurus. Keduanya
sama mendekatkan arloji ke mata, seolah
hendak tahu apa mereka tiba tepat waktu.
Ketika itu malam belum lama tiba. Hujan
yang turun sedari sore, tinggal renyai.
Malam menjadi kian gelap dan lebih
dingin hawanya. Salah seorang
mengenakan mantel hujan. Yang lain
bermantel plastik transparan. Kerah
mantel- nya sama ditinggikan sampai
menutup telinga. Kepala si ke- kar
ditutupi oleh baret abu-abu. Si kurus oleh
topi mantel. Sedangkan tangannya sama
membenam jauh ke dalam saku celana.
Mereka berjalan ke arah timur dengan
setengah membungkuk, mengelakkan
dingin dan tiupan angin malam. Tak
seorangpun yang berbicara.
Nyala lampu jalan yang bergoyang-
goyang ditiup angin itu, redup cahayanya.
Dibendung oleh kabut yang biasa turun di
kota pegunungan itu. Jalan itu lengang
seperti kota ditinggalkan penduduk
karena ada ancaman bencana. Hanya
bayangan kedua orang yang terangguk-
angguk itu saja yang kelihatan. Ketika
mereka sampai di suatu simpang, si
kekar bertanya tanpa menoleh: "Kemana
kita?"
"Terserah kau." jawab si kurus gersang.
Lalu yang kekar membelok ke kiri. Seperti
itik jalan sekandang, si kurus juga
membelok. Sekarang jalan yang mereka
tempuh mendaki. Tapi mereka tidak
melambatkan langkah. Sehingga mereka
seperti tambah terbungkuk-bungkuk dan
kepalanya sama terangguk pada setiap
kaki dilangkahkan. Jalan itu lebih gelap
oleh kerimbunan pohon-pohon di kiri-
kanannya. Dan kaki mereka sering
terperosok ke lobang di jalan aspal yang
telah lama tidak diperbaiki. Keduanya
dengan pikiran masing-masing. Hanya
derapan sepatu yang solnya sudah
lembab yang meningkahi nyanyian hewan
malam.
"Gila. Dia berani. Sekali aku pukul, pasti
klenger." kata si kekar dalam hatinya.
"Orang bertubuh besar, kekar, bangga
dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan
kalau kaya, sombong. Tidak punya
perasaan." kata si kurus dalam hatinya
juga.
"Mengapa dia berani? Apa dia punya
ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang
Indonesia punya ilmu, tidak akan bisa
Belanda lama-lama menjajah negeri ini.
Tapi dia ini punya ilmu apa?" kata si
kekar lagi pada dirinya.
"Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu
benar. Tapi tidak selamanya." kata si
kurus. "Karena orang kecil punya otak.
Harus cerdik. Sejarah mengatakannya
begitu." kata si kurus masih dalam hati.
"Aku pecah kepalanya sampai otaknya
berderai. Biar bangkainya tahu, jangan
coba-coba melawan aku." kata si kekar
pula.
Kini mereka melalui jalan yang mendatar
sesudah membelok ke kanan lagi.
Langkah mereka seperti tertegun ketika
mulai melalui jalan yang datar itu.
Napasnya sama menghem- bus panjang,
bagai mau melepaskan hengahan payah.
Lalu mereka melintasi jalan lebar yang
bersimpang. Tiba-tiba sebuah jip militer
datang dari arah kanan. Si kekar buru-
buru menepi. Tapi si kurus tidak peduli.
Dia tidak meng- hindar. "Kamu mau mati,
hah?" bentak pengendera jip itu dengan
iringan sumpah serapah.
Si kurus berdiri sambil menatap ke arah
jip yang lewat tidak lebih setengah meter
darinya. Katanya dalam hati: "Sama saja
watak kalian. Tidak beretika. Tidak
bermoral."
Rumah-rumah di kedua pinggir jalan itu
sudah jarang le- taknya. Listrik belum
sampai ke sana. Hanya cahaya lampu
minyak mengintip dari celah dinding
anyaman bambu. Rumah- rumah itu
sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam
alam hingga ke puncak bukit. Sedangkan
bukit itu terpampang bagai mau merahapi
alam kecil di bawahnya. Tepat diatas
perbatasan alam yang pekat itu, sesekali
cahaya terang mengilat. Bukit itu bagai
binatang merayap maha besar dalam
kisah prasejarah. Mengerikan
nampaknya.
Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan
terbuka.
Cahaya lampu minyak melompat keluar.
Masuk ke gelap malam. Kepala seorang
perempuan menjulur. Dia memandang
lama ke- pada kedua laki-laki itu. Laki-
laki itu juga memandangnya.
Ketika lelaki itu berjalan terus, kepala
perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu
sambil menggerutu. "Sialan.
Bukan mereka."
Dan perempuan lain di dalam rumah
cekikikan ketawa. Lalu hilang karena
pintu ditutup lagi. Cahaya lampu yang
menjilat malam itu pun lenyap
bersamanya. Renyai tidak turun lagi.
"Kurang ajar. Berani bilang aku sialan.
Kalau aku mau perempuan bukan ke seni
aku, tahu?" kata si kekar masih dalam
hatinya.
"Perempuan pemilik daging sewaan ini,
sama saja dengan pemilik otot. Sama
tidak punya etika, tidak punya moral."
gerutu si kurus.
Kemudian mereka tiba lagi di sebuah
simpang. Jalan be- sar yang mereka
tempuh membelok ke kiri. Tapi mereka
me- neruskan arahnya, melalui jalan kecil
tanpa aspal. Kerikil besar-kecil
berserakan menutupnya. Gemercakan
bunyinya di- pijaki. Dekat di kiri kanan
jalan meliuk-liuk daun pisang ditiup
angin. Berkepakan bunyinya menyela
desauan angin yang meniup dan
nyanyian jengkrik. Bukit menghempang di
hadapan mereka hilang timbul disela
daun pisang itu. La- ngit yang
memberikan kilatan, juga mengintip
dicelahnya. "Tak kusangka aku ke sini di
malam seperti ini." si kekar berkata
dalam hatinya lagi. "Mengapa aku mesti
ke sini? Seumur-umurku belum pernah
aku ke sini. Jangkankan malam. Siang
pun belum. Gila benar."
"Orang kuat, orang kaya, itu maunya
takdir. Jika enggan menghormati kaum
jelata, hormatilah takdir. Kalau mereka
tidak mau, lawan takdir itu. Takut
melawan, terinjak terus. Kalau melawan,
gunakan otak. Akali. Kalah menang juga
takdir." kata si kurus masih dalam
hatinya.
Tiba-tiba keduanya sama terkejut.
Langkah mereka sama terhenti, sambil
dengan hati-hati mengawasi sesuatu
yang melintas cepat di depan mereka.
Rupanya seekor musang.
Berdesauan suara perlandaan badannya
dengan dedaunan di semak itu.
"Huss, musang. Bikin kaget orang.
Nantilah, aku bawa bedil ke sini. Boleh
kamu tahu rasa." kata si kekar.
"Bagi kamu musang, selalu ada
sekandang ayam untuk kamu terkam.
Apalah daya ayam karena sudah
takdirnya begitu. Kata Hobbes hanya
cocok untuk binatang. Manusia yang
bina- tang, ya, sama. Tapi aku manusia.
Manusia yang manusia. Kalau kuat, ya,
jangan menindas. Kalau tidak mau
melawan, jadi ayamlah kamu." kata si
kurus lagi.
Keduanya terus melangkah juga. Tapi
lebih lambat. Si kekar seperti mencari-
cari sesuatu. "Orang kurus seperti kamu,
sekali tetak, lehermu patah. Berhari-hari
kemudian orang akan mencari bau
bangkai membusuk ke sini. Bangkai itu,
bangkai kamu. Karena itu jangan sekali-
kali menentang
orang kuat." kata si kekar lagi. Masih
dalam hati. Dia lebih memperlambat
langkahnya seperti dia merasa sudah
sampai ke tempat yang ditujunya. Dan
memang tak lama kemudian mereka
sampai ke suatu padang luas yang
membujur di sepanjang kaki bukit di
kejauhan itu. Tiada pohon tumbuh disitu.
Selain belukar menyemak. Dulunya
padang itu tempat serdadu Belanda, sorja
Jepang dan tentara revolusi latihan
menembak. Di sana Jepang juga
memenggal nyawa orang yang dituduh
pengkhianat. Tentera revolusi pun meniru
gurunya yang sorja Jepang. Sehingga
padang itu menumbuhkan fantasi yang
menegakkan bulu roma setiap orang.
Orang-orang tawanan yang akan dibawa
ke situ, sudah ke- jang duluan oleh
ketakutan atau cepat-cepat berdoa
dengan seribu cara. Dan kini padang luas
yang sunyi dan menimbulkan fantasi
seram itu, di malam berenyai, dingin dan
pekam, didatangi oleh dua lelaki. Dan
padang itu, seperti biasa menanti dan
menyaksikan orang-orang yang dipenggal
lehernya atau ditembak mati tanpa peduli
perasaan si kor- ban. Padang itupun
sunyi menerima kedatangan kedua laki-
laki itu. Bersikap masa bodoh terhadap
segala apa yang di- lakukan oleh
manusia terhadap sesamanya. Seolah-
olah berkata: "Hai manusia, silakan
kalian saling bunuh." Tapi arwah
manusia yang dibunuh tanpa kerelaan,
sehingga menumbuhkan fantasi yang
menghantu, seperti tidak menyentuh hati
kedua lelaki yang mendatanginya di
malam itu.
"Dia mau menjagal aku, seperti yang
dilakukan serdadu-serdadu itu." kata si
kurus dalam hatinya.
"Kalau dia sampai mati aku gampar,
orang akan menanyai aku. Polisi akan
menangkap aku. Matilah aku. Sialnya ini
orang mau ke sini." kata si kekar
menggerutu pada dirinya. "Kalau aku
dipenjarakan, akan apa perasaan isteriku.
Kalau aku dikuhum mati? Bajingan-
bajingan akan memburu istriku yang
muda, cantik dan kaya oleh warisanku.
Sialan".
Cahaya kilat memancar juga jauh tinggi
dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap
dan kesepian padang itu. Dan sese- kali
angin meniup agak keras, hingga daunan
kayu bergoyangan menjatuhkan pautan
tetesan air padanya. Gegap berde- sauan
bunyinya, bagai teriakan prajurit yang
kemasukan semangat mau mati yang
bernyala dan haus darah.
Si kekar mendongakkan kepalanya seraya
memandang sekeliling alam di padang
itu. Lalu katanya seraya menghenti- kan
langkahnya, "Di sini saja."
Si kurus pun menghentikan langkahnya.
Masih menekur juga dia. Keduanya kini
tegak berhadapan, seperti dua orang
yang mau mengatakan sesuatu yang
lama sudah disimpan.
"Mestinya dia ini tidak perlu aku bawa ke
sini. Aku cari saja preman. Suruh ajar dia
ini. Habis perkara." kata si kekar.
"Sialnya aku lancang mulut mengajaknya
berduel malam ini."
Cahaya kilat memancar lagi. Jauh di balik
bukit sebe- rang ngarai yang lebar itu.
Redup, seperti tak bertenaga. Lalu kata si
kekar dengan suara redup seperti kilat itu:
"Tak pernah selama ini aku
mengangankan datang kemari ber-
samamu. Apalagi malam begini.
Nyatanya kita kemari juga.
Kau tahu mengapa?"
Si kurus mengangkat kepalanya, seraya
memandang ke arah kepala si kekar. Lalu
katanya dengan suara yang gersang.
"Maumu 'kan?" Tapi dalam hatinya dia
berkata: "Kau tahu kau kekar dan kuat.
Kau jadi berani membawa aku ke sini.
Tapi aku punya harga diri. Sekali aku
kecut, seumur hidup aku kau dilecehkan."
Keduanya terdiam ketika angin bertiup
rada kencang. Bersoraklah lagi dedaunan
menggugurkan tetesan sisa air yang
bergantungan padanya.
"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa
lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh
tahun." si kekar memulai bicara sebagai
awal pembicaraan yang panjang dengan
mengingatkan segala apa yang telah
diberikannya kepada si kurus selama
mereka bersahabat kental. Nadanya
membanggakan kelebihan- nya dan
melecehkan si kurus dengan kalimat
sindiran.
"Sekali hari kau kenalkan Nita padaku.
Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku
lamar dia pada orang tuanya. Lalu kami
kawin. Sejak itu kau berobah. Mana aku
tahu Nita pacarmu." kata si kekar.
"Kalau kapal suka berobah arah ke mana
angin kencang bertiup, lebih baik tidak
menompangnya. Tapi ini bukan soal Nita.
Ini soal harga diri yang selalu kau
lecehkan" kata si kurus. Masih dalam
hatinya.
"Kau kira aku cemburu kalau Nita
kemudian dekat padamu? Tidak. Aku
tidak cemburu. Karena aku tahu siapa
aku, siapa Nita, siapa kau." kata si kekar.
Kemudian dengan nada yang tegar dia
melanjutkan:
"Kalau kau mau ambil dia, ambil.
Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka
dilecehkan." Dia mencoba meneliti wajah
si kurus. Namun gelap malam
menghalangi penglihatannya. Cahaya
kilat tak membantu ka- rena terlalu jauh
di langit sebelah barat. Angin masih se-
bentar-sebentar menggoyangi dedaunan
di ujung ranting.
"Kau tidak peduli kapalmu rindu pada
teluk yang dalam, ombak yang tenang.
Itulah macam manusianya kamu. Seperti
raja-raja dahulu kala. Semua yang berada
di bawah kuasamu, kamu pikir dapat
diperjual-belikan. Siapa mau dan tahan
diperlakukan begitu terus-menerus?" kata
si kurus dalam hatinya juga.
"Sekarang, kita berada disini, di padang
yang luas ini, di malam sehabis hujan
turun, dimana kilat masih sabung-
bersabungan. Namun dalam hati kecilku
aku menyesali kehadiran kita disini. Aku
merasa konyol. Tapi.....kalau tidak dengan
cara begini menyelesaikan persoalan kita,
hi- langlah harga diriku." kata si kekar
dengan gaya orang partai yang mencoba
menumbuhkan kesan kagum yang
diharap- kannya. Tapi si kurus masih
tidak menanggapi. Dia masih bersikap
seperti tadi, berdiri tanpa peduli.
"Betul-betul sudah pekat hatimu
menantang aku secara jantan?" kata si
kekar.
Si kurus tak menyahut. Tapi kepalanya
tak menekur lagi. Tegaknya seperti
menantang.
"Sekali lagi aku tanya, Apa hatimu sudah
pekat?"
"Kau kira apa?" kata si kurus seraya
menyurutkan sebelah kakinya selangkah.
Si kekar membuka mantel hujannya
tenang-tenang. Disam- kutkannya pada
ranting belukar beberapa langkah dari
tem- patnya. Sambil melangkah
digulungnya lengan panjang keme- janya.
Selesai yang kiri, lalu yang kanan. Juga
dengan tenang. Tapi ketika dilihatnya si
kurus masih terpaku pada tempatnya
berdiri, dia berkata lagi, "Mengapa tak
kau buka mantelmu? Kau menyesal?"
"Apa pedulimu?"
"Baik." kata si kekar sambil
menyelesaikan menggulung lengan
kemejanya. Kemudian dia kepalkan
tinjunya sambil menyurutkan langkah
selangkah. Siap untuk berkelahi. Tiba-
tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di
tangan si kurus. "Apa itu?" tanyanya.
"Pisau," jawab si kurus tegas.
"Oh. Kau berpisau? Itu curang namanya."
kata si kekar seraya menyurutkan
kakinya selangkah lagi.
Tak ada jawab si kurus.
"Kalau kau main curang, buat apa
kejantanan? Aku tidak mau berduel
dengan orang curang." kata si kekar.
"Kencing kau." carut si kurus untuk
menghina.
Si kekar kehilangan nyali. "Kalau aku tahu
kau bawa pisau ......."
Dan angin bertiup lagi. Dedaunan
berdesauan pula. Kini seperti bersorak
girang atas kemenangan orang kecil atas
keangkuhan orang besar.
Lama kemudian si kekar berkata lagi, tapi
dengan suara yang kendor. "Aku orang
terdidik. Terpandang pada mata ma-
syarakat. Aku tidak mau mati terbunuh
oleh sahabat karib- ku sendiri. Tak aku
sangka, kau mau membunuhku."
"Mestinya aku ludahi wajahmu. Tapi apa
gunanya menghina orang yang kalah?"
kata si kurus dalam hati. Seketika ada
pikiran yang mengganggunya, bagaimana
kalau si kekar jadi pemenang. "Pasti
seperti pemenang pada perang saudara."
"Maksudku, hanya ingin menyelesaikan
persoalan antara kita. Bukan untuk
berbunuh-bunuhan. Karena kita berhabat
karib." kata si kekar dengan suara lirih.
Si kurus membalikkan badannya. Lalu
melangkah ke arah mereka datang tadi.
Tidak tergesa-gesa. Juga tidak pelan.
"Tunggu. Tunggu aku." seru si kekar.
Karena si kurus terus menjauh, dia
mengikuti dengan langkah panjang-
panjang. "Jangan kau salah mengerti.
Sebenarnya aku tidak hendak berkelahi.
Apalagi dengan kau." katanya setelah
dekat.
Si kurus tidak menjawab. Dia terus
berjalan tanpa mem- lambatkan langkah.
Si kekar terus juga bicara tentang pe-
nyesalannya mengajak si kurus ke tempat
yang sepi itu. Kemudian katanya: "Aku
minta maaf sebesar-besar maafmu.
Kau mau, bukan?" Karena si kurus terus
tidak berkata, di pegangnya tangan si
kurus. Tapi si kurus merenggutkan
tangannnya dari pegangan itu.
Terperengah berdiri si kekar beberapa
saat.
Angin malam terasa bertiup lagi.
Dedaunan pohon ping- gir jalan itu
mendesau seketika. Si kekar melangkah
cepat, lebih cepat dari langkah si kurus.
Setelah beberapa langkah mendahului,
dia berdiri dan menanti si kurus
mendekat.
Didekapnya kedua telapak tangannya di
bawah dagunya se- perti patung Budha.
Lalu katanya memelas: "Aku minta sung-
guh, jangan kau ceritakan peristiwa ini
kepada siapapun. Hancur harga diriku.
Akan apa kata Nita, kalau dia tahu?
Hancur aku. Hancur."
Si kurus terus melangkah. Si kekar terus
menghadang dengan langkah mundur.
Tanpa merobah letak kedua tangan, si
kekar berkata lagi: "Apapun yang kau
minta akan aku beri, asal kau tidak
ceritakan kepada siapapun. Habis aku.
Hancur harga diriku. Katakan apa yang
kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah.
Aku ikhlas."
Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat
mantelnya tergantung pada ranting
belukar. Tergesa-gesa dia kembali untuk
mengambilnya. Tergesa-gesa pula dia
mengenakan mantel serta
mengancingkannya. Sedangkan matanya
terus juga memandang si kurus yang kian
menjauh dan kian hilang dalam gelap
ma- lam. Dia berlari mengejar sambil
memangil-manggil nama si kurus dan
minta si kurus menunggu. Ketika sampai
di tempat mereka berpisah tadi, si kekar
berhenti. Dia memandang berkeliling
mencari dimana si kurus berada. Tidak
siapapun terlihat, selain gelap malam.
Bulu romanya merinding. Sambil berlari
kencang, dia memanggil nama si kurus
keras-keras. "Dali, tunggu. Dali, tunggu.
Jangan tinggalkan aku. Daliiii."
Si kurus keluar dari persembunyiannya di
belukar, setelah suara si kekar tidak
terdengar lagi. Dia bersembunyi karena
enggan berjalan seiring dengan sahabat
lama yang sudah jadi bekas sahabat.
Kayutanam, 30 Agustus 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar